Tidak untuk Kali Ini


                Kepada selembar kertas concord hijau di meja, aku bergumam pelan sekali. Bagaimana harus mengungkapkannya ya?
                Anakku kini semakin dewasa. Ia sudah pandai berkata-kata layaknya pembawa acara di televisi. Bahkan ia semakin cerdas saja menggunakan teknologi canggih seperti notebook –yang kukira seperti buku, ternyata lebih dari itu!- dan internet.
                Masih kuingat ketika dulu ia tak sanggup bertahan dalam posisi duduk saat kupotong rambutnya. Ia seketika melonjak dari kursi menuju mainannya sambil menggaruk punggungnya yang gatal karena potongan rambut. Tetapi sekarang pandangannya tak bisa lepas dari sebuah layar mungil itu dalam waktu beberapa jam demi bercakap-cakap di dunia maya dengan temannya.
                Anakku kini mempunyai pandangan sendiri tentang apapun yang dulu kami anggap sama. Apa ia tak lagi penurut? Sepertinya ia telah banyak belajar dan membaca buku dan internet tentang ilmu pengetahuan. Mungkin jauh lebih banyak dariku, walaupun aku sudah pernah duduk di bangku kuliah lebih dulu.
Semakin tak sanggup rasanya untuk mengatakannya. Mungkin masih banyak lagi alasan yang aku punya untuk tidak mengatakannya.
                Untunglah, aku dan dia kini tetap bisa bercakap-cakap. Ia kerap bercerita tentang sekolahnya atau kawannya yang baru dan istilah remaja yang unik-unik itu. Aku pun sering menceritakan kisah seputar ibu-ibu yang tertatih-tatih mengikuti tren masa kini. Aku bersyukur masih bisa menjalin hubungan ibu-anak yang normal (bagiku) sampai saat ini.
                Namun ada satu hal yang menyesakkan dadaku.
                Aku ingin sekali merengkuh tubuhnya dan mengatakan bahwa aku sangat menyayanginya. Tapi tidak dengan kata-kata. Apalagi menuliskannya. Karena itu tak akan pernah cukup.
                Entah sampai kapan, aku hanya ingin ia tahu lewat isyarat saat aku menyapu kamarnya atau saat membersihkan tempat tidurnya.  Mungkin juga saat mencuci bajunya, memijat pundaknya yang lelah sepulang sekolah ataupun saat mengantarkannya ke dokter walau hujan mengguyur seperti sore ini.
Seperti matahari yang menyambut embun pagi tanpa harus menatapnya. Seperti isyarat hujan kepada awan yang menjadikan ia tiada.
Akan kuucapkan maaf dan terima kasihku lewat apapun yang aku bisa.
            Maaf ya concord, tidak jadi kupakai. Tidak untuk kali ini.


*Tanggal 5 Juli, saat esoknya ia harus tinggal sendirian, pertama kalinya untuk kuliah.

Comments

Popular posts from this blog

Onomatopoeia: Ekspresif dalam Kosakata

2: Caraku Memandang Dunia Tak Lagi Sama

Dimulai dari Sampah di Depanmu