Posts

Showing posts from 2017

Melambatkan waktu

I feel my mind so chaotic So I will do some exercise to get my mind calmer And the pace of time slower . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . I choose to be.... unplugged. Thank you for stopping by.

Menilai diri dan orang lain

Pernah mendengar tentang standar ganda? Terkadang kita dengan mudahnya menilai orang lain salah karena kita merasa dia tidak berada di pihak kita. Hanya karena pilihan yang berbeda, kita menggeneralisasi penilaian kita pada orang lain berdasarkan perbedaan itu. Padahal, itu justru bisa merusak logika berpikir kita. Kita jadi mengandalkan standar ganda, kalau aku dan kelompokku benar apapun alasannya, kalau dia dan kelompoknya pasti salah, meskipun ada bagian benarnya. Pokoknya salah! Nah, ini yang membuat pikiran semakin tidak jernih memandang suatu hal. Kita perlu memperbaiki mindset diri kita untuk tidak salah berlogika. Mungkin kita masih ingat dengan soal logika berikut ini: A>B B>C A>C? (jika A maka B, jika B maka C. Nah, apakah berarti jika kondisi A maka terjadi C?) Masih bingung? Coba kita perhatikan contohnya saja. Jika Ibu memasak, maka Ayah senang. Jika Ayah senang, maka anak diajak jalan-jalan. Apakah jika Ibu memasak, maka anak diajak jalan-jalan?

Mencari Peluang

Sebagai manusia alias homo economicus biasanya suka sekali yang namanya gratisan atau diskonan. (Siapa yang nggak suka coba? Hehe). Ternyata ini sedari kecil sudah tertanam bahkan dibiasakan oleh keluarga dan masyarakat di sekitar. Saat membeli sebuah makanan, normalnya kita terbiasa sudah menilai kesesuaian antara porsi dan harganya. Begitu ada tawaran dapat bonus mainan, misalnya, maka itu jadi petimbangan yang lain yang menarik hati konsumen khususnya anak-anak. Saat masih anak-anak, saya pun sudah sangat familiar dengan aneka penawaran makanan maupun mainan yang berbonus mainan pula. Jajanan semacam Chiki, Cheetoz, dan sebagainya selalu melampirkan kata bonus beragam mainan di bungkusnya. Kini, bonus telah menjelma menjadi lebih atraktif dan beragam lagi jenisnya. Pedagang dan pembeli sama-sama semakin jeli dan kreatif melancarkan strategi. Saya tidak begitu suka berbelanja sih. Tetapi kalau soal diskon, saya masih sering update :D Cukup tahu saja. Kadang juga saya getol mencar

Penuh Perhitungan

Sejak SMA saya mengikuti sebuah komunitas yang membuat saya harus lebih disiplin diri. Sebut saja lingkaran cinta. Di sana saya mendapatkan pencerahan tentang indahnya ukhuwah dan terlebih lagi cara mencintai jalan hidup yang saya pilih, yakni Islam. Semangat yang menggebu untuk mengenal lebih dekat jalan ini membuat saya ingin lebih banyak memperbaiki diri. Saya mulai dengan hal yang sangat dekat dan mudah dikenali, diri sendiri. Amal yaumi, sebuah evaluasi yang harus dilakukan tiap hari, saya periksa satu demi satu. Sesuai target kah? Apa bisa ditingkatkan kah? Katanya, hisablah sebelum dirimu dihisab.... Meski sedikit tetapi istiqomahlah... Berharap, dengan adanya perhitungan yang diadakan atas diri bisa membuat diri lebih bersiap untuk hari yang pasti.

Menyederhanakan Problematika

Saat melihat kembali ke masa-masa belajar matematika. Ada keasyikan yang saya rasakan ketika menyelesaikan berbagai soal-soal di buku pelajaran. Sampai-sampai saya penasaran dengan pelajaran di bab berikutnya yang belum diberikan. Saya merasa ada semacam petualangan memecahkan teka-teki. Semacam bermain angka dan main tebak-tebakan. Semakin ke sini saya merasa matematika lebih banyak berperan untuk menyederhanakan hidup yang terlihat rumit. Adalah bracketing, prinsip matematika yang saya pakai saat saya merasa penat dalam kesibukan. Hehe itu saya bikin sendiri sih... Intinya saya kelompokin dulu persoalan-persoalan yang setipe dan dapat diselesaikan di level yang sama. Mulai dari yang mudah dulu atau yang sumbernya dapat dijangkau. Baru kemudian menyelesaikan permasalahan yang berada setingkat di atasnya dan seterusnya.

Melogika Alam Semesta

Tantangan IIP makin seru aja nih... Jadi semakin tertantang untuk menangkap momen dan menyusun kata-kata.. Karena matematika di sekitar kita itu buanyak sekali. Saya menemukan salah satu prinsip yang menggunakan dasar matematika di sebuah kebiasaan ibu saya di rumah. Ibu saya sangat perfeksionis. Dalam hal menggantung baju saja, arahnya harus sama. Menjemur baju harus dikelompokkan dalam ukuran dan jenisnya. Termasuk pula dalam hal mengukur sesuatu. Semua seolah sudah ada rumusannya dan kita tinggal mengikutinya. Saya sempat bosan dan ingin menerobos segala ukuran yang baku itu. Tetapi di sanalah saya belajar banyak tentang pentingnya membuat aturan-aturan sederhana dan berusaha menaatinya. Mungkin memang kita perlu melebarkan pandangan dan menerima lebih terbuka segala ilmu yang dihamparkan di bumi ini. Mencoba memadukan antara seni dan sains supaya hal yang kacau lebih mudah dicerna dan yang kaku lebih terurai maknanya.

Hari ke-12: Blink!

Image
  Sebuah judul buku yang unik. Tentang proses yang mengalami perubahan fantastis. Membuat orang dengan sekejap mata dapat terpana. Sebab, betapa canggihnya, bahasa kekinian yang mewakili tentang kecepatan dan kehebatan.

hari ke-11: Mencari Esensi

Merayakan sesuatu jadi terasa penting abad ini. Semula mungkin memang ada pencapaian yang perlu disyukuri dengan berbagi kebahagiaan, tetapi agaknya semakin ke sini semakin ritual semata. Seperti yang sedang ramai dikunjungi netizen, galeri instagram. Bergantian bagai musim, perayaan demi perayaan digambarkan dalam kotak-kotak foto. Ada yang memilih untuk mengabadikan momen perayaan dengan mengunggah wajah bahagia dengan bunga di tangan dan di samping teman-teman seraya berpelukan, sambil diberi kutipan sebagai captionnya. Dilengkapi dengan video dan gaya foto bumerang. Ada pula yang menata hadiah sedemikian rupa hingga di foto terlihat betapa banyak yang begitu ingin ikut berbahagia dengannya. Saya pernah membaca sebuah buku tentang Happiness project , sebuah buku kuning biru yang cerah ceria seperti judulnya. Terasa begitu menyenangkan karena kita dibuatnya keluar dari rutinitas dan lebih banyak mengasah kreativitas. Ternyata, kebahagiaan dapat dicari dari hal-hal yang sangat de

hari ke-10: membaca adalah idealisme

kadang kita susah disuruh diam. inginnya bicara di saat seharusnya diam. kadang pula kita justru diam saat seharusnya kita bicara. ada yang salah dengan sikap kita. mungkin kita belum cukup bijak menilai sesuatu atau keadaan sehingga tidak tepat menyikapinya. atau mungkin kita belum paham akan suatu hal tetapi buru-buru untuk menilai. alangkah baiknya jika kita tidak membiasakan diri terburu-buru dalam banyak hal. mungkin sebelum kita membuka kata, kita serap dulu apa yang perlu dimengerti. barangkali membaca situasi dengan perlahan justru menjadi kunci dari bijaknya menyikapi. bukannya menjadi bodoh apabila kita mengatakan tidak tahu jika memang benar bahwa kita belum tahu. bukannya menjadi salah kalau kita menahan diri untuk tidak melakukan apa-apa yang semua orang lakukan ketika tahu itu meragukan. saat belajar kita boleh salah agar nantinya tidak salah. yang tidak boleh itu, menyalahkan dan tidak belajar.

Hari ke-9: Merapikan ala KonMari

Image
Saya lagi suka beres-beres di rumah meski rasanya berabad-abad tidak beres juga. Ternyata yang saya lakukan saat merapikan berbagai hal di rumah ini tidak efektif dan justru membuat saya harus beres-beres lagi di lain waktu. Ini cara lama yang diajarkan ibu saya yang cukup sibuk sehingga beliau selalu menyarankan untuk membongkar satu laci dan menyusunnya, baru berganti ke laci yang lain. Dan ternyata di waktu lain, saya perlu membongkar laci yang telah disusun tersebut karena lupa menaruh dimana atau ternyata ada barang-barang yang hanya menjadi timbunan tapi saya eman membuangnya. Saya bertemu dengan bukunya Marie Kondo saat ada topik tentang berberes di rumah di salah satu kulwapp IIP kalau tidak salah. Cepat-cepat saya pesan bukunya melalui toko Gramedia online dan berharap dapat diskonan (tetep). Tetapi saya tidak begitu peduli soal harga karena pas sekali saya sedang membutuhkan buku ini dan lagi ada anggaran belanja buku. Meskipun begitu saya ternyata tidak bisa menghabi

Hari ke-8: E-book bagi yang sibuk

Saya tidak begitu suka e-book awalnya. Apa sih itu? paperless katanya. Tapi kok tetep nggak enak kalau nggak di print ya? Hmm Saya mulai mengambil alternatif membaca buku dengan e-book sejak saya mengenal website cerita rakyat dari berbagai belahan dunia. Judul websitenya, Long Long Time Ago . Menariknya saat itu, saya bisa membaca tentang asal-usul mitos dari seluruh dunia (ya meski nggak mencakup semuanya, tetapi yang biasanya populer saja di negara atau daerah asalnya). Saya mengenal itu sejak saya mengeenal Friendster. Hehe (kids jaman old) Saya pun mengoleksi beberapa cerita, diantaranya yang paling berkesan adalah mitos tentang mengapa langit itu tinggi, mengapa laut itu asin dan tentu saja legenda dari Indonesia :) Haha (emangnya ada? ah saya juga lupa sih, seingat saya itu ada cerita Indonesia, tapi judulnya lupa -_-) Pokoknya saya bahagia sekali saat itu bisa dapat banyak referensi dongeng untuk dibaca dan barangkali saya jadi punya bahan omongan dengan teman-teman di seko

Hari ke-7: Menjaga Semangat Membaca

Saat membaca sebuah cerita yang menyenangkan, pikiran saya selalu terbawa pada imajinasi ketika saya masih kecil, bermain-main dan bersepeda di lapangan balai RW hingga disengat lebah, sampai saat di rumah saya belajar dengan cara dibacakan bukunya oleh ibu dan ayah. Mungkin apa yang saya rasakan sekarang seperti iri pada masa kecil saat saya punya banyak waktu yang menyenangkan karena tidak sibuk dengan hal-hal yang berbau dewasa. Saya yang merasa tidak punya kepentingan saat masa itu pun enteng saja ketika diajak mencuci mobil, memasak, dan sebagainya sebagai sesuatu yang baru, seru dan menantang. Terlebih ketika saya mengenal ensiklopedi, saya jadi semakin penasaran dan keingintahuan saya berkembang jauh lebih besar. Rupanya, hal-hal yang terlihat kecil dan remeh temeh bisa jadi berkesan dan membuat saya menjadi orang yang seperti sekarang. Saya suka membaca. Ternyata sejak di dalam kandung ibu, saya sudah terbawa atmosfer membaca dari ayah dan ibu yang sering berlangganan majal

Hari ke-6: Semua itu Guru

Image
Belajar sama-sama.... Berkarya sama-sama... Kerja sama-sama... Semua orang itu guru Alam raya sekolahku Sejahteralah bangsaku Itu adalah secuplik lirik lagu dari pasangan duet hits di dunia literasi Indonesia, Ribut Cahyono , Karina Adistiana. Menyiratkan bahwa kehidupan ini nyatanya memang sebuah tempat belajar sesungguhnya. Kita diperkenankan melakukan berbagai hal meskipun pernah salah tetapi yang terpenting adalah belajar dari kesalahan. Kita bebas belajar dimana saja, apa saja, dan dari siapa saja. Semua yang kita alami saat ini pun adalah hasil belajar yang telah lalu. Mungkin tidak ada rapornya atau ijazahnya, tetapi yang terpenting adalah pribadi yang lebih percaya diri untuk menghadapi tantangan hidup berikutnya. Meskipun, kita telah terbiasa diberikan pemahaman bahwa yang namanya belajar itu ya mengerjakan PR dari sekolah atau mengerjakan tugas dan mendengarkan ceramah guru di sekolah, kita mestinya bisa memahami kalau di luar itu semua kita tetap harus belajar.

Hari ke-5: Menelusuri Jejak Baca

Apa yang kita pikirkan saat ini adalah hasil dari proses belajar kita akan suatu hal. Semenjak saya mengenal buku-buku motivasi, saya jadi merasa ada keperluan untuk terus memperbarui pola pikir saya supaya tidak mudah lemah dan menyerah menghadapi variasi masalah atau tantangan dalam hidup. Saya menemukan beberapa kepingan semangat yang kemudian bisa saya susun untuk menegakkan kembali punggung saya dan membuat saya jadi lebih berani menyelesaikan permasalahan. Semua yang saya rasakan saat ini pun adalah hasil dari hati yang mengalami pasang surut harapan dan hujan tempaan yang hadir di setiap masanya. Mungkin saya sering baper (terbawa perasaan) saat membaca suatu kisah yang biasa saja atau saat menceritakan kembali sebuah tokoh yang  menurut saya too good to be true karena saking baiknya. Tapi sebenarnya, yang terpenting adalah betapa setiap perjalanan yang saya baca atau lika-liku kehidupan seseorang bisa begitu terasa di relung hati saya seolah-olah saya sendiri yang mengalamin

Hari ke-4: Meresapi Tiap Bacaan

Saya tidak tahu sebenarnya apakah apa yang saya lakukan terhadap buku-buku ini sudah tepat. Saya berusaha sebisa mungkin membeli buku yang asli (dan diskon) lalu segera menuliskan nama dan tanggal dibelinya supaya tidak lupa. Terkadang saya memberikan nama kota tempat dibelinya supaya makin berkesan. Ah iya, saya jadi teringat buku-buku saya yang hilang. Bahkan beberapa di antaranya adalah seri yang ada tandatangan penulisnya. Hiks. Makanya kadang saya menyesal sudah meminjamkan buku saya tanpa mencatat dan menagihnya. Tapi ya, sudahlah, diikhlaskan saja. Saya suka memberikan makna tersendiri bagi setiap buku yang saya miliki. Entah dari ceritanya yang memang bagus sehingga saya baca berkali-kali, atau bahkan justru karena cara mendapatkannya yang unik yang membuat saya eman untuk merelakannya. Dulu, selain memberikan identitas dan tanggal pada buku, saya juga memberikan selotip pada ujung buku supaya lebih awet dan tidak mudah tertekuk. Tapi lama kelamaan, saya malas juga. Hehe. Ak

Hari ke-3: Merimbunkan Daun Buku

Image
Saya baru bisa bikin via laptop seperti ini pohon literasinya :D meski sederhana setidaknya sudah ada semangat dan terbayang akan seperti apa nanti versi offline nya (oh iya, saya berencana bikin yang lebih besar dan bisa sambil main tempel-tempel kertas serta menghias). Buku yang saya baca ulang adalah buku Totto Chan. Sebab, buku ini berkesan sekali sampai saya sering teringat momen-momen dimana anak yang unik ini melakukan hal-hal yang tidak terduga. Saya juga ingin membuat tulisan mengenai kepribadian Totto Chan menurut versi saya dengan digabungkan cerita-cerita yang ada di sekitar. Pesan moral yang ditanamkan juga kuat meskipun tidak dijelaskan di dalam buku tersebut. Justru dengan begitu, pembacanya malah jadi lebih bisa mengeksplorasi imajinasi dan perasaannya saat membaca buku dan mengambil hikmah yang lebih relevan di kehidupan sehari-hari. Buku yang kedua saya baca adalah Happiness Laboratory, buku ini adalah buku bacaan yang cukup ringan, menceritakan banyak hal khus

Hari ke 2: Membaca Efektif

Image
Perencanaan agar dapat mencapai target membaca perlu sekali supaya tidak terbengkalai di belakang. Saya mencoba untuk merapikan jadwal membaca dengan memulai membereskan buku-buku yang sudah terbaca terlebih dahulu. Ada beberapa buku yang memang asyik untuk sering dibaca-baca kembali. Ada juga buku-buku yang sudah bertahun-tahun tidak dibaca karena merasa kurang relevan untuk saat ini. Saya mencoba untuk memanfaatkan rak-rak buku dengan mengurutkan buku-buku yang sering terbaca diletakkan di bagian paling tengah agar lebih mudah diraih. Sementara itu, buku-buku yang di bagian bawah merupakan buku yang paling tebal dan paling serius (jadi biasanya juga jarang dibaca hehe). Bagian rak paling atas adalah buku-buku populer dan praktis yang biasanya untuk mengisi waktu senggang dengan membacanya sambil menikmati suasana :D Jadwal membaca saya tidak terlalu padat atau detail karena saya ingin lebih enjoy dalam menjalaninya. Hobi masa kecil saya adalah dibacakan buku atau didongengi ora

Hari ke 1: Pohon Literasi

Belajar dari Cangkrukan Pendidikan yang pernah kuikuti untuk pertama kalinya di Warung Mbah Cokro, saya memutuskan untuk lebih peduli terhadap literasi. Ternyata literasi yang saya pahami selama ini bukan cuman sekadar banyak-banyak membaca tetapi juga memahami sampai tingkat pengamalan yang lebih kompleks. Saya mengaku selama ini memang semakin jarang membaca buku karena sok sibuk dengan aktivitas di luar. Padahal, sebenarnya banyak scroll timeline waktu yang bisa dialokasikan untuk mengasah literasi. Gayung bersambut, tantangan IIP kali ini pas sekali dengan semangat yang ingin saya bangun setelah beberapa kali jatuh bangun memperbaiki niat lebih rajin membaca dan menulis. Saya mengikuti tantangan sebelumnya dengan terseok-seok karena merasa masih belum signifikan terhadap perubahan hidup saya. Halah. Sekarang, niatnya lebih bulat ingin memperbaiki kebiasaan membaca dengan memperkaya pohon literasi yang saya buat. saya mencoba untuk mencari referensi bagaimana pohon literasi itu

Games 3: Family Project

Brainstorming Ide Mengumpulkan gagasan yang sekiranya menarik untuk dijadikan fampro ini cukup menantang. Apalagi tidak terbiasa melakukan kegiatan bersama yang unik dan bertemakan sesuatu yang tujuannya besar. Biasanya keluarga kami cenderung melakukannya biasa saja (tidak ada embel-embel project atau apa yang keliatan keren gitu --a haha). Yang penting nanti apa yang dikerjakan cepat selesai dan beres. Nah ternyata ada banyak hal yang dilewatkan kalau prosesnya tak dinikmati seperti itu. Kali ini, tantangannya adalah mengerjakan setiap project dengan maksud untuk menjalani prosesnya dan merasakan setiap naik-turunnya, pasang-surutnya. Tidak mudah karena belum terbiasa. Tapi selalu ada jalan untuk membuatnya jadi lebih mudah dari apa yang dibayangkan. Mencoba untuk berpikir positif bahwa tidak ada yang sia-sia dari sebuah proses belajar. Beberapa ide yang sudah terpikir untuk dijalankan adalah merapikan lagi jurnal harian atau log-book yang berisi hal-hal yang disyukuri dan dipe

Find your One Thing

Kita hidup di dunia pasti ada sebabnya. Banyak orang yang bilang kalau kita ini tidaklah lahir ke dunia dalam keadaan hampa. Kosong. Polos. Sehingga sangat tergantung dengan hal di luar kita. Bukan seperti itu. Kita bukanlah sebuah kertas yang putih yang bisa jadi akan ditentukan oleh yang mewarnai kita dari luar. Justru, kitalah yang dapat mewarnai berbagai hal di sekitar dengan warna yang kita punya. Setiap orang memiliki modal yang berbeda-beda untuk menghadapi tantangan di kehidupan. Bekal yang membuat manusia siap untuk menyelesaikan berbagai persoalan rupanya memang sudah diberikan sejak ia lahir. Setiap insan yang terlahir ke dunia telah membawa misinya masing-masing. Misi tersebutlah yang akan menjawab pertanyaan "untuk apa aku ada?" Meskipun berada di lingkungan yang sama, dua orang (yang pasti berbeda) tidak akan memberikan warna yang sama persis. Tiap orang memberikan sentuhan yang berbeda kadarnya pada obyek apapun di tempatnya berada. Sebab, pada dasarnya se

Tantangan Kemandirian: 5 for 1 update

Menjalankan misi 5 for 1 ini cukup menggelisahkan awalnya karena banyak distraksi yang harus dihindari. Masalah ketergantungan yang tinggi terhadap gadget juga cukup memberikan andil pada berjalannya misi ini. Niat yang kuat dibutuhkan untuk membuat tantangan selama minimal 10 hari tetap berjalan lancar sesuai keinginan. Target minimalnya adalah mampu mengurangi kadar interaksi terhadap gawai dan menambah kualitas serta kuantitas proses pengerjaan hal-hal yang produktif. Tujuannya, tentu saja untuk membangun habituasi alias kebiasaan positif. Awal pelaksanaan misi, saya masih gagal fokus dan masih saja secara otomatis membuka gawai untuk melihat notifikasi. Saya jadi agak kaget mengingat misi yang sedang dijalannkan. Hal itu membuat saya maklum dengan beberapa 'kelepasan' yang terjadi. Selanjutnya, saya coba untuk menguninstall beberapa aplikasi yang memberatkan gawai dan badan saya agar tidak semakin betah duduk dan mengakses gawai. Alhamdulillah saya tidak punya banyak ak

Tantangan Kemandirian: 5 Minutes for 1 Hour

Dimulai dari menemukan tujuan awal untuk apa tantangan ini dilakukan.. Saya sendiri merasa sangat kurang mandiri dalam hal manajemen waktu dan penggunaan barang, terutama gawai. Ternyata tanpa sadar saya masuk ke dalam golongan orang-orang nomophobia . *lebay sih, tapi ternyata ada sedikit kecemasan saat tidak bisa menjangkau handphone ataupun mendengar notifikasi masuk. So I'm screwed now. Ewh . Nah, mulai pekan ini saya akan mencoba untuk menerapkan teknik 5 minutes for 1 hour untuk penggunaan HP. Kenapa nggak memakai teknik cut off sekalian? karena banyak yang perlu diurus di sana, mulai dari urusan keluarga, kuliah, marketing , meet up , dan lainnya terutama di aplikasi whatsapp dan e-mail. Lalu kenapa tidak sekalian 2 jam misalnya dalam sehari, kan sama aja tuh? Nah, karena judulnya tantangan kemandirian dalam hal manajemen waktu, saya mencoba untuk mengatur daripada memangkas waktunya sekaligus. Apapun yang terjadi saya harus fokus mengerjakan apapun dalam satu jam sec

Toleransi untuk Kawan

Pernah kualami di masa sekolah dasar, teman sebangkuku dirisak (bully) karena ia menggambar sebuah lambang agama tertentu. Ya ampun, kenapa lagi, pikirku saat itu. Selain dipicu gambar itu, ia memang sering diolok-olok karena fisiknya. Ah, sedih sekali mengingatnya. Namun, hal tersebut tidak lagi saya temukan di masa sekolah menengah. Mungkin pikiran anak-anak itu sudah berkembang. Saat saya bersama teman-teman membuat suatu tempat nongkrong-baca di daerah Rungkut, saya merasakan konflik berdasar SARA juga muncul di kalangan anak sekolah dasar. Ada yang tidak mau bergaul dengan anak beragama lain padahal mereka bisa bermain bersama. Akhirnya pada sebuah momen, dibuatlah acara Kelas Kebangsaan yang mendorong mereka untuk bekerjasama sebagai satu  suku bangsa. Permainan tradisional, bernyanyi lagu anak-anak khas daerah, sampai bermain angklung jadi sarana pemersatu mereka. Mungkin agak sulit menjangkau jauh batas-batas toleransi sehingga kita bisa menerima perbedaan dengan legawa. A

Teman dalam Cahaya

Kita terkadang takut untuk menasihati kawan ketika ia berada di posisi yang salah. Bisa jadi karena takut ia tersinggung, menghindar, atau bahkan meninggalkan kita. Padahal, teman yang sebenarnya tidak akan mudah meninggalkan satu dengan yang lain. Ya, terkadang pikiran itu muncul dari perasaan kesepian atau ketakutan yang hampa. Hampa dari rasa takut dan harap kepada Sang Pencipta. Dia-lah yang selalu mengawasi kita, mendengarkan segala pinta dan mengabulkan segala doa. Awalnya barangkali kita menoleransi perasaan gundah dengan membiarkan perilaku teman kita yang kurang tepat. Sayangnya, hal itu justru membuat kita semakin mengabaikan kewajiban untuk mengingatkan sesama, mencegah kemungkaran. Tanpa terasa, perilaku telah menjadi kebiasaan. Kita pun tahan berlama-lama meski tahu akibat perbuatannya. Bukannya sudah dibilang bahwa berteman dengan tukang besi niscaya ikut terpercik api? Bersinggungan sedikit dengan teman demi kebaikan bukanlah masalah besar. Lebih baik ia terhentak se

Cara Bilang Tidak pada Teman

Mending mana, menolak atau ditolak? Hehe bergantung sikon kali ya.. Nah, kadang kita mengalami dilema saat ada urusan penting tapi diajak teman pergi atau melakukan suatu hal lain. Yah, meski urusan itu bisa seperti istirahat atau beres-beres (yang kelihatan remeh) tapi tetap saja kitalah pemegang prioritas segala urusan. Apalagi bila kita diminta tolong untuk melakukan sesuatu yang tak sesuai dengan nurani, kita sangat dianjurkan untuk tidak mengiyakannya. Suatu saat kita perlu bilang tidak untuk ajakan teman meskipun kita sebenarnya mau dan sungkan menolak. Ada beberapa tips untuk mengatakan tidak pada teman kesayangan kita supaya urusan kita lancar dan teman kita nggak baper: 1. Kita katakan saja yang sebenarnya Ini hal yang paling mudah dilakukan kalau kita memang memiliki alasan yang jelas dan dipandang penting bagi kita dan juga teman kita itu. Kita bisa berikan rasionalisasi alasan kenapa kita tidak bisa melakukan apa yang ia minta. Bisa juga berikan penjelasan dari sudut

Berteman dengan Lansia

Mencari tahu banyak hal sekarang ini sangatlah mudah. Semua orang seakan berlomba-lomba untuk memberitahu orang lain perihal apa yang mereka ketahui meski kadang belum tentu benar dan perlu. Tiap hal yang kita dapatkan lalu bagi kepada orang lain adalah tanggungjawab kita. Kadang kita lupa kalau ada konsekuensi di balik hal-hal yang kita tahu. Kata Nenek saya, manusia semakin banyak saja akalnya. Ngomong-ngomong tentang manusia, saya kagum dengan nenek saya yang notabene pengalaman hidupnya sangat patut diacungi jempol dua. Hidup di zaman pra-kemerdekaan membuatnya mengalami pasang-surut secara ekonomi. Meski orangtua beliau memiliki status sosial yang cukup tinggi di desanya, tidak membuatnya hidup enak dan bersantai saja. Ia harus berjualan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Selain itu, ia harus menerima perjodohan dengan orang tak dikenalnya saat ia masih berusia belia -iya, suaminya sendiri-. Wah, sudah seperti cerita fiksi saja pokoknya. Sampai saat ini beliau masih memiliki p

Low Maintenance Friend

Tentang teman yang tak banyak tuntutan. Saya bingung membahasa-Indonesiakannya. Maafkan~ Haha Berteman dengan orang-orang yang berprinsip low maintenance friend ini menyenangkan. Nggak butuh keruwetan. Apapun yang kita miliki tidak sering diprotes atau dikritisi. Nggak butuh drama. Berkonflik sih boleh, tapi nggak yang ngomong di belakang terus membuat isu-isu negatif alias gosip dan pembunuhan terencana . Nggak baperan. Ketika chat atau pesan tidak langsung dibalas, mereka bisa memahami keadaan yang mungkin lagi nggak bisa pegang HP atau lagi mikir mau jawab apa. Saya merasa sangat beruntung memiliki teman-teman yang langka seperti itu (disamping teman yang lain juga ada banyak tapi nggak dekat). Ketika kita lagi pergi jauh mereka tidak pernah membebani dengan meminta oleh-oleh. Malah lebih banyak memberi saran dan doa supaya aman di perjalanan. Saat kita sibuk dengan pekerjaan atau belajar, teman kita tidak lantas mencibir 'sok-sokan' tetapi memilih untuk mengerti dan me

Teman Introvert

Berikut ini adalah daftar teman para introvert, mohon disimak: 1. Buku . . . . . . .. . . . . . . . . . . . . . . . . 2. Buku harian 3. Gawai Hahaha, maaf bercanda. Maksudku...... Saya pernah bertemu dengan seorang yang tidak kusangka ia juga introvert. Terlihat sangat lihai di keramaian. Sangat pede berbicara di depan orang banyak. Begitu memukau saat menjelaskan sesuatu yang ia dalami. Tetapi ternyata, ia sama denganku. Energinya mudah habis setelah melakukan kontak sosial terlalu lama. Ia harus mengisi baterai sosialnya kembali untuk menjadi utuh lagi. Ia juga suka membaca buku dan tenggelam dalam kegiatan individualis. Mudah introspeksi diri dan mengingat kejadian emosional. Tetapi, ia mampu mengelola semua itu sehingga optimal berperan menjadi orang publik yang baik dan ramah. Dari dulu saya ingin meminta tandatangan untuk dibubuhkan pada halaman pertama bukunya. Saya membeli buku itu di toko buku kampus dengan berharap ada yang edisi ber

Berteman Lintas Zaman

Mengenal generasi selain generasi sendiri membuat lebih mawas diri. Bertemu dengan generasi baby boomers alias sebelum 1940-an hingga 1960-an memberikan kesan kehidupan yang penuh dengan kerja keras. Mereka dulunya lahir di zaman pasca kemerdekaan Indonesia saat masyarakat masih hidup sederhana. Dalam kondisi seperti itu, makanan sejenis nasi dan lauk tempe saja sudah istimewa. Ditambah lagi pendidikan sangat sulit dijangkau kecuali bagi kalangan berdarah biru atau keturunan campuran Belanda. Begitu mereka dewasa, perjuangan masih mewarnai hidup mereka yang bekerja keras demi bisa menyekolahkan anak-anaknya dan memberi asupan terbaik untuk keluarga. Tak lupa, merekalah yang siap siaga mendisiplinkan anak mereka dengan begitu keras agar siap menghadapi kerasnya hidup. Semua mereka lakukan agar generasi selanjutnya tidak mengalami kesusahan yang sama. Generasi selanjutnya adalah generasi X yang lahir di tahun 1970-an hingga pertengahan 1980. Berteman dengan post-boomers ini membuat k

Berteman di Zaman Perang

Ada banyak kisah tentang peperangan di masa lampau. Tatkala ditempatkan di barisan prajurit, para sahabat yang bersatu dalam pasukan tak berzirah sibuk membentengi punggung satu sama lain. Ketika mulai terdesak oleh pasukan musuh, mereka yang berada di posisi terdepan siap untuk menghadang. Sementara itu, pasukan di belakangnya tak tinggal diam dan menanti giliran saja. Mereka menyeruak ke depan seraya siap untuk mempertahankan posisi barisan. Mereka tak ingin kawannya dilukai sedikitpun oleh pedang lawan. Saat beristirahat di antara jarak perjalanan yang panjang, mereka membagi makanan dengan memakannya bersama-sama. Bahkan saat bekal air menipis, mereka saling tunjuk untuk menyuruh satu sama lain meminum air itu terlebih dulu dibanding mereka sendiri meskipun dahaga menyerang. Ishlah, masa-masa sulit menunjukkan sikap pertemanan yang penuh pengorbanan. Rasa cinta pada sahabat melebihi rasa cinta pada kepentingan diri mereka sendiri.  Kalaulah berteman dinilai dari seberapa banyak

Cuap-cuap tentang Teman

Selama ini saya menyadari, hidup di keluarga yang banyak introvertnya akan berpengaruh terhadap kepribadian saya juga. Ketika sudah mengenal psikologi dan tetek bengek psikotes jadi semakin paham kalau teman-teman saya pun kebanyakan introvert. Rasanya, hmm, ternyata mirip ya, pantesan kok nyambung gitu ngobrolnya. Sama-sama lebih suka ngobrol dengan suara pelan dan face to face , nggak rame-rame. Hobinya pun sama, lebih banyak ndekem di satu tempat yang sepi dan nggak banyak orang, seperti di rumah. Saya berpikir, saya butuh cara untuk mengisi makna hidup supaya lebih berwarna dan berguna. Saya harus belajar berbicara di depan orang banyak dimana saya selalu merasa tertekan dan cemas. Sebab, itu adalah tantangan yang akan membuka kesempatan saya bertemu dengan orang banyak dan mengambil peran lebih banyak. Saya berusaha keluar dari zona nyaman dengan bergaul lebih luas lagi. Lebih tepatnya, saya memutuskan untuk bergabung di organisasi dan komunitas. Sangat tidak nyaman ketika haru

Berteman Sepi

Dalam kekalutan kita berjumpa Mencicip berupa-rupa angan dan tanya Mengapa engkau sampai di sini Apa engkau akan sampai lebih jauh lagi senyum simpul mengembang teringat masa yang pernah terulang engkau tepuk pundakku sambil berkata, "bacalah sembari menunggu" sesuap hikmah sampai ke tenggorokanmu telanlah dan syukurilah ia meskipun tetap tak mengerti apa-apa tetap saja tenang kaurasakan walau kaudengar dengkur jangkrik beradu dalam keheningan malam yang sendu kalimatku jadi penahan temaram sukmamu

Teman dalam Mimpi

Image
Mimpi punya harga diri... itu adalah kalimat yang selalu terlintas setiap saya mengobrol dengan teman-teman yang sedang berjuang. Tahun ini adalah tahun dimana kebanyakan dari teman saya sedang semangat-semangatnya merengkuh mimpi. Ada yang barusan lulus kuliah, ada yang baru saja diterima kerja, ada juga yang sedang membangun rumah tangga impian para jomblo . Yang jelas, mimpi-mimpi itu membuat mereka kian sibuk meniti jalan yang kadang terasa melelahkan. Memang itulah harga yang harus dibayar untuk meraih sebuah mimpi. Hanya mereka yang percaya bahwa mimpi mereka berharga yang bisa memperjuangkannya. Kadang saya sendiri tak yakin pada kemampuan untuk mencapai cita-cita. Aduh, kayaknya susah deh, kok belum apa-apa sulit gini ya, memangnya benar ya ini jalan saya? Teman saya kadang jauh lebih percaya ketimbang diri saya sendiri. Ketika mulai merasa inferior, minder, impostor, you name it , ada teman saya yang mengingatkan. "He, sadaro ta, kamu lho yang punya mimpi,"

Berteman dengan Anak-Anak

Berteman dengan anak-anak seperti menyentuh sisi humanis kita yang apa adanya. Sifat anak-anak pada umumnya suka memaafkan. Walaupun bertengkar karena hal yang sepele tapi hebohnya luar biasa, mereka biasanya bisa berbaikan dan bermain seru lagi esok harinya. Anak-anak juga punya rasa ingin tahu yang besar. Sehingga, mereka lebih menghargai perbedaan dan informasi yang baru ia ketahui sebagai hal yang menarik. Saya pernah terlibat dalam beberapa proyek sosial bersama anak-anak jalanan. Meskipun mereka keliatan garang, hati mereka lembut dan mudah untuk menerima kebaikan. Ketika dapat hadiah sering rebutan tetapi saat kami berbagi cerita mata mereka berbinar dan antusias. Mereka juga suka menunjukkan rasa sayang mereka dengan memeluk kakak-kakaknya atau bermanja-manja. Sama saja seperti anak kecil pada umumnya. Mungkin keburukan yang terlihat selama ini hanyalah efek dari pembiasaan orang-orang terdekatnya yang tidak tahu cara mendidik anak. Di taman baca penuh kenangan yang bernama

Berteman dan Bertahan = Hidup

Image
Sebagai manusia yang senantiasa bertanya dan mempertanyakan sesuatu, saya terus mencari jawaban. Kenapa kita butuh teman? Bagaimana cara menemani orang lain? Apa syarat menjadi teman? Atau.... tidak butuh syarat sama sekali? Me, as one of the old souls, always remember one thing. We struggle everyday for life. Then, we need somethings to do that. Like survival kit. Friend is one of them. They are kind of support system of life when the family is faraway. They can be our reflections, our sparring partners, or another home just to make us comfortable and not feeling alone. Saya mulai memahami bahwa tidak semua orang bisa disebut teman sejak saya mengenal ruang publik dan privasi. Manusia mulai mengklasifikasi  hubungan tak sedarah dengan sebutan kenalan, teman, sahabat, pasangan, musuh, dan sebagainya. Klasifikasi itu bergantung posisi orang lain terhadapnya: apakah di lingkaran terluar, terluar kedua, sampai yang paling dekat dengannya. Semakin ke dalam, semakin intim hubungannya. S

Tantangan 10 Hari Komunikasi Produktif: Hari 1

Alhamdulillaah..... Allah Subhanahu Wa Ta'ala selalu mendengar doa-doa hamba-Nya.. Terutama yang sedang bingung dan senantiasa memohon petunjuk-Nya. Ketika saya sempat bimbang antara melanjutkan kelas IIP atau tidak di jenjang Bunda Sayang (karena predikat singlelillah kadang membuat maju mundur belajar materi ginian, mana belum jadi bunda2 --"), akhirnya Allah memantapkan hati saya. Bismillaah, niatnya buat belajar entah terpakai atau tidak nantinya, Lillaahi Ta'ala. Materi pertama langsung menohok saya: membahas tentang komunikasi produktif. Ya Allah, ini kelemahan saya bangets. Terkadang saya masih suka sembunyi dan mengelak dari konflik yang berhubungan dengan hal ini karena terjebak di zona nyaman di dunia saya sendiri. Saya paling nggak suka ribut sama orang dan interaksi lisan juga jarang kecuali kalau ada perlu atau terpaksa. Masih sering miskomunikasi juga. Parah banget ya kayaknya. Tapi saya sendiri terlihat begitu tenang bagi orang lain, ramah dan senang men