Berteman di Zaman Perang

Ada banyak kisah tentang peperangan di masa lampau. Tatkala ditempatkan di barisan prajurit, para sahabat yang bersatu dalam pasukan tak berzirah sibuk membentengi punggung satu sama lain. Ketika mulai terdesak oleh pasukan musuh, mereka yang berada di posisi terdepan siap untuk menghadang. Sementara itu, pasukan di belakangnya tak tinggal diam dan menanti giliran saja. Mereka menyeruak ke depan seraya siap untuk mempertahankan posisi barisan. Mereka tak ingin kawannya dilukai sedikitpun oleh pedang lawan.

Saat beristirahat di antara jarak perjalanan yang panjang, mereka membagi makanan dengan memakannya bersama-sama. Bahkan saat bekal air menipis, mereka saling tunjuk untuk menyuruh satu sama lain meminum air itu terlebih dulu dibanding mereka sendiri meskipun dahaga menyerang. Ishlah, masa-masa sulit menunjukkan sikap pertemanan yang penuh pengorbanan. Rasa cinta pada sahabat melebihi rasa cinta pada kepentingan diri mereka sendiri.

 Kalaulah berteman dinilai dari seberapa banyaknya bertemu dan bercanda tawa, tentu persahabatan semacam itu tak akan ditemukan di era pemboikotan yang penuh derita. Mencari sumber pangan begitu susah, pun menyusuri jalan-jalan dengan aman tak mudah dilakukan. Berteman dalam suasana kemiskinan dan jauh dari kesejahteraan menjadi satu-satunya pilihan. Meskipun begitu, mereka yang hidup dalam kesulitan bisa tetap saling menemani dan berbagi. Dalam doa yang melambung tinggi setiap pagi, mereka siap bergandengan tangan mencari sesuatu untuk dimakan. Dalam munajat setiap malam, mereka haturkan rasa syukur ke hadirat Tuhan atas anugerah teman yang saling menguatkan.

Menemani kawan yang dilanda kemalangan terasa begitu menyesakkan sekaligus hangat. Serasa terseret gulungan ombak, menghentakkan dalam sekali hitungan. Betapa kiranya saya saja yang mengalaminya.... seperti itulah rasa kasihan menjelma menjadi uluran tangan yang nyata. Maka, berteman di masa peperangan mengharuskan diri menjadi kuat. Tubuh kita menjadi toleran terhadap rasa sakit yang tak seberapa karena ada rasa sakit (di tubuh) lain yang perlu kita obati. Mengeluh pun jadi tak sempat. Sebab, ada banyak kata semangat yang harus dikeluarkan untuk teman yang sedang berjuang.

Masa-masa yang telah lampau memang terlampau berat. Tapi, bukankah ada masa-masa lain yang mulai terbuka di depan mata? Dapatkah kita menjadi teman dan saling menemani di dalam kesulitan yang tak terbayangkan?

Comments

Popular posts from this blog

Onomatopoeia: Ekspresif dalam Kosakata

Dimulai dari Sampah di Depanmu

Kemandirian Hari ke 3