Tepuk Tangan Untuknya


Aku kerap kali merasa bingung apa maksud dari perjalanan hidupku ini. Aku merasa nyaman dengan hidupku yang biasa saja. Bangun tidur, mandi, sholat subuh, sarapan kemudian sekolah. Aku mengikuti pelajaran di sekolah dengan tertib dan pulang tepat waktu. Aku pun juga membaca komik atau novel dan bermain dengan kawanku. Aku adalah anak biasa yang memiliki kualitas menengah di kelas dan tanpa bakat khusus. Tiap semester aku mendapat ranking 15 dari 30 anak. Walaupun begitu aku dengan senang hati menerimanya.
Tak kusangka ternyata orang tuaku merasakan hal yang berbeda. Ibuku sering memuji anak tetangga ataupun temanku. Ini demi mendongkrakkan semangatku untuk berprestasi seperti mereka, katanya.  Sedangkan ayahku menjadi pendengar setia bagi orang tua yang lainnya walau merasa risih ketika pertemuan rutin wali murid di sekolah. Mereka bercerita anaknya sering mendapatkan penghargaan dari bidang keahliannya masing-masing. Kawan-kawanku itu disebut-sebut sebagai superhero cilik oleh bapaknya.
Ketika lebaran tiba, seluruh keluarga besarku berkumpul. Banyak hal yang dibahas hingga memeriahkan suasana Idul Fitri kala itu. Sampai akhirnya pembahasan para orang tua mengarah ke cita-cita anaknya masing-masing. Ada yang ingin jadi artis, dokter, penulis, sampai politikus. Bahkan yang masih berumur 4 tahun ingin jadi penyiar acara televisi. Aku tak sebegitu memperhatikan pembahasan itu hingga ditanya oleh pamanku. “Oh, aku ingin jadi guru TK, mengajari anak-anak dan mengajak mereka bermain.” Terlihat huruf O di mulut mereka yang mendengarkanku.
“Lalu, apa cita-citamu yang lain?” Tanya pamanku sambil tersenyum. “Aku ingin jadi ibu yang memakai celemek biru dan membuat makanan yang enak di dapur, membacakan buku cerita kepada anak-anakku, mengajak mereka melihat bintang-bintang dari teras rumah,” jawabku. Semua tertegun memandangku. Ayah terlihat canggung sekali.
Pernah suatu ketika, ibuku melihat pidato temanku hingga meneteskan air mata. Kemudian ibuku  iseng menanyakan, “Kenapa ya kamu tidak memiliki kepandaian yang luar biasa seperti dia?” Lalu aku hanya bisa berceletuk, “Karena ayah juga tidak punya.” Ibuku terkekeh di sebelahnya.
Lama-lama, ayah dan ibuku tak tahan juga. Ibuku mencarikan guru les yang pandai untuk mengajariku di rumah dengan berbagai buku materi belajar. Tak cukup itu saja, aku pun diikutkan bimbingan belajar dengan rutinitas dua kali seminggu.
Aku mengikutinya dengan seluruh kemampuanku. Kedua orang tuaku tak sabar lagi menunggu hasil ujian semester depan yang diharapkan bisa menaikkan rankingku.
Seperti rusa kecil yang kelelahan, aku memaksa tubuh kecilku untuk terus mengerjakan latihan soal. Aku terkena flu parah. Di atas tempat tidur, aku membawa bukuku untuk dibaca dan dikerjakan. Setumpuk tisu berserakan tak pernah mengganggu niatku untuk meneruskan belajar.
Penyakitku mulai merambah ke paru-paru. Saat peluh menetes di atas buku, dadaku tiba-tiba sesak. Wajahku pucat dan badanku terlihat jauh lebih kurus.
Ujian semester itu tiba. Hasilnya, ayahku terkejut mendapat rapor dengan ranking 15. Beliau bingung harus tertawa atau menangis.
Sempat beberapa minggu ayah dan ibuku memberi tambahan asupan gizi dan iming-iming hadiah. Setiap kali mau ujian, keringat dingin di tubuhku bercucuran. Setelah itu hasilnya lebih menghenyakkan lagi. Rankingku turun jadi 27.
Menyadari kondisi badanku dan rankingku yang sama-sama menurun, Ibu dan ayahku mengurangi waktu belajarku. Aku diperbolehkan bermain puzzle dan membaca komik lagi. Orang tuaku sungguh sayang padaku, namun beliau berdua tak habis pikir dengan nilai sekolahku.
-------------------------------------------------------------------------------------------------
“Mungkin anak kita perlu hiburan sejenak,” kata suamiku. Iya, mungkin saja.
Aku menyerahkan lembar persetujuan rekreasi bersama kepada anakku. Esoknya ia bersiap menuju sekolah dengan bekal makanan yang ia atur sendiri.
Di dalam bus, semua anak ceria bernyanyi dan tertawa. Anak perempuanku itu juga turut senang. Ia hanya bisa bertepuk tangan saat temannya menunjukkan bakat menyanyi ataupun bermusik. Setiap kali hentakan rem, ia menengok ke belakang dan segera menuju tempat tas-tas diletakkan untuk membetulkan posisinya. Ia juga yang merapikan sebuah botol minum yang airnya telah tumpah.
Seorang anak lelaki yang menyanyi tadi mengambil bekalnya karena ia telah lapar. Sedangkan temannya yang tadi bermain gitar ingin meminta bekal itu setengah. Padahal yang lelaki pertama bawa hanya ada tiga buah. Itu pun ia tetap tak mau membaginya karena khawatir jatahnya ikut diambil. Anak perempuanku segera mengambil sendok dan membagi satu buah menjadi dua bagian. Bereslah urusan bagi-berbagi ini.
Anak perempuanku tak mudah bosan rupanya. Ia sesekali melontarkan canda yang membuat seisi bus yang tadinya sunyi kembali ceria. Ia membagikan bekal –yang sudah diaturnya sendiri- kepada teman-temannya.
Semester berikutnya, guru anakku memberi kabar bahwa anakku ranking 15 lagi. Ehm, tetapi kemudian beliau bilang sesuatu. Dalam angket kelas, ada sebuah pertanyaan, “Siapakah yang teman yang paling kamu sayangi?”
Semua anak di kelas menuliskan nama anakku kecuali anakku sendiri.
“Ibu, bisa jadi anak ibu memiliki kualitas menengah dalam pelajaran, tetapi dalam hal berkawan dan bertingkah laku ia nomor satu.”
Kini aku tak peduli. Apapun cita-cita anakku, yang penting ia mau menjadi sosok yang tulus dan baik hati.
“Kamu akan jadi pahlawan,” senyum tersungging di wajahku. “Nggak mau,” jawabnya mengagetkanku.
“Lho kenapa?”

“Kata Bu Guru, kalau ada pahlawan lewat harus ada yang tepuk tangan. Aku mau jadi yang tepuk tangan di tepi jalan.”
Aku mengamatinya dengan seksama. Tangan mungilnya melipat-lipat kertas hingga menjadi sebuah perahu. Hatiku berdesir.
Banyak  orang ingin jadi pahlawan, namun akhirnya tak menjadi apa-apa di dunia fana. Jika dalam kondisi yang normal, jauh dari rasa bersalah, hidup akan lebih tentram dan bahagia dengan kejujuran.
Aku membayangkan ia akan menjadi seorang ibu yang lembut dan penyayang. Seorang tetangga yang senang membantu dan ramah. Walaupun ia ranking 15. Apa yang membuatku merasa tak puas? Masih menginginkan ia lebih hebat dan lebih menonjol dari yang lain? Eh, seandainya aku menjadi ibu dari 15 anak di belakangnya, bagaimana perasaanku nanti?

Diceritakan kembali dari beraniegagal

Comments

  1. wah akhire update maneh rek.
    sangar iki tulisane. tenanan terjadi ta nang kowe?

    ReplyDelete
  2. Rahma: Kamu juga semangaat :)

    AR: Nggak nyata sih, cuman terinspirasi saja. Iya, alhamdulillah blog ini masih bisa hidup lagi

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Onomatopoeia: Ekspresif dalam Kosakata

2: Caraku Memandang Dunia Tak Lagi Sama

Dimulai dari Sampah di Depanmu