Posts

Showing posts from November, 2017

Menilai diri dan orang lain

Pernah mendengar tentang standar ganda? Terkadang kita dengan mudahnya menilai orang lain salah karena kita merasa dia tidak berada di pihak kita. Hanya karena pilihan yang berbeda, kita menggeneralisasi penilaian kita pada orang lain berdasarkan perbedaan itu. Padahal, itu justru bisa merusak logika berpikir kita. Kita jadi mengandalkan standar ganda, kalau aku dan kelompokku benar apapun alasannya, kalau dia dan kelompoknya pasti salah, meskipun ada bagian benarnya. Pokoknya salah! Nah, ini yang membuat pikiran semakin tidak jernih memandang suatu hal. Kita perlu memperbaiki mindset diri kita untuk tidak salah berlogika. Mungkin kita masih ingat dengan soal logika berikut ini: A>B B>C A>C? (jika A maka B, jika B maka C. Nah, apakah berarti jika kondisi A maka terjadi C?) Masih bingung? Coba kita perhatikan contohnya saja. Jika Ibu memasak, maka Ayah senang. Jika Ayah senang, maka anak diajak jalan-jalan. Apakah jika Ibu memasak, maka anak diajak jalan-jalan?

Mencari Peluang

Sebagai manusia alias homo economicus biasanya suka sekali yang namanya gratisan atau diskonan. (Siapa yang nggak suka coba? Hehe). Ternyata ini sedari kecil sudah tertanam bahkan dibiasakan oleh keluarga dan masyarakat di sekitar. Saat membeli sebuah makanan, normalnya kita terbiasa sudah menilai kesesuaian antara porsi dan harganya. Begitu ada tawaran dapat bonus mainan, misalnya, maka itu jadi petimbangan yang lain yang menarik hati konsumen khususnya anak-anak. Saat masih anak-anak, saya pun sudah sangat familiar dengan aneka penawaran makanan maupun mainan yang berbonus mainan pula. Jajanan semacam Chiki, Cheetoz, dan sebagainya selalu melampirkan kata bonus beragam mainan di bungkusnya. Kini, bonus telah menjelma menjadi lebih atraktif dan beragam lagi jenisnya. Pedagang dan pembeli sama-sama semakin jeli dan kreatif melancarkan strategi. Saya tidak begitu suka berbelanja sih. Tetapi kalau soal diskon, saya masih sering update :D Cukup tahu saja. Kadang juga saya getol mencar

Penuh Perhitungan

Sejak SMA saya mengikuti sebuah komunitas yang membuat saya harus lebih disiplin diri. Sebut saja lingkaran cinta. Di sana saya mendapatkan pencerahan tentang indahnya ukhuwah dan terlebih lagi cara mencintai jalan hidup yang saya pilih, yakni Islam. Semangat yang menggebu untuk mengenal lebih dekat jalan ini membuat saya ingin lebih banyak memperbaiki diri. Saya mulai dengan hal yang sangat dekat dan mudah dikenali, diri sendiri. Amal yaumi, sebuah evaluasi yang harus dilakukan tiap hari, saya periksa satu demi satu. Sesuai target kah? Apa bisa ditingkatkan kah? Katanya, hisablah sebelum dirimu dihisab.... Meski sedikit tetapi istiqomahlah... Berharap, dengan adanya perhitungan yang diadakan atas diri bisa membuat diri lebih bersiap untuk hari yang pasti.

Menyederhanakan Problematika

Saat melihat kembali ke masa-masa belajar matematika. Ada keasyikan yang saya rasakan ketika menyelesaikan berbagai soal-soal di buku pelajaran. Sampai-sampai saya penasaran dengan pelajaran di bab berikutnya yang belum diberikan. Saya merasa ada semacam petualangan memecahkan teka-teki. Semacam bermain angka dan main tebak-tebakan. Semakin ke sini saya merasa matematika lebih banyak berperan untuk menyederhanakan hidup yang terlihat rumit. Adalah bracketing, prinsip matematika yang saya pakai saat saya merasa penat dalam kesibukan. Hehe itu saya bikin sendiri sih... Intinya saya kelompokin dulu persoalan-persoalan yang setipe dan dapat diselesaikan di level yang sama. Mulai dari yang mudah dulu atau yang sumbernya dapat dijangkau. Baru kemudian menyelesaikan permasalahan yang berada setingkat di atasnya dan seterusnya.

Melogika Alam Semesta

Tantangan IIP makin seru aja nih... Jadi semakin tertantang untuk menangkap momen dan menyusun kata-kata.. Karena matematika di sekitar kita itu buanyak sekali. Saya menemukan salah satu prinsip yang menggunakan dasar matematika di sebuah kebiasaan ibu saya di rumah. Ibu saya sangat perfeksionis. Dalam hal menggantung baju saja, arahnya harus sama. Menjemur baju harus dikelompokkan dalam ukuran dan jenisnya. Termasuk pula dalam hal mengukur sesuatu. Semua seolah sudah ada rumusannya dan kita tinggal mengikutinya. Saya sempat bosan dan ingin menerobos segala ukuran yang baku itu. Tetapi di sanalah saya belajar banyak tentang pentingnya membuat aturan-aturan sederhana dan berusaha menaatinya. Mungkin memang kita perlu melebarkan pandangan dan menerima lebih terbuka segala ilmu yang dihamparkan di bumi ini. Mencoba memadukan antara seni dan sains supaya hal yang kacau lebih mudah dicerna dan yang kaku lebih terurai maknanya.

Hari ke-12: Blink!

Image
  Sebuah judul buku yang unik. Tentang proses yang mengalami perubahan fantastis. Membuat orang dengan sekejap mata dapat terpana. Sebab, betapa canggihnya, bahasa kekinian yang mewakili tentang kecepatan dan kehebatan.

hari ke-11: Mencari Esensi

Merayakan sesuatu jadi terasa penting abad ini. Semula mungkin memang ada pencapaian yang perlu disyukuri dengan berbagi kebahagiaan, tetapi agaknya semakin ke sini semakin ritual semata. Seperti yang sedang ramai dikunjungi netizen, galeri instagram. Bergantian bagai musim, perayaan demi perayaan digambarkan dalam kotak-kotak foto. Ada yang memilih untuk mengabadikan momen perayaan dengan mengunggah wajah bahagia dengan bunga di tangan dan di samping teman-teman seraya berpelukan, sambil diberi kutipan sebagai captionnya. Dilengkapi dengan video dan gaya foto bumerang. Ada pula yang menata hadiah sedemikian rupa hingga di foto terlihat betapa banyak yang begitu ingin ikut berbahagia dengannya. Saya pernah membaca sebuah buku tentang Happiness project , sebuah buku kuning biru yang cerah ceria seperti judulnya. Terasa begitu menyenangkan karena kita dibuatnya keluar dari rutinitas dan lebih banyak mengasah kreativitas. Ternyata, kebahagiaan dapat dicari dari hal-hal yang sangat de

hari ke-10: membaca adalah idealisme

kadang kita susah disuruh diam. inginnya bicara di saat seharusnya diam. kadang pula kita justru diam saat seharusnya kita bicara. ada yang salah dengan sikap kita. mungkin kita belum cukup bijak menilai sesuatu atau keadaan sehingga tidak tepat menyikapinya. atau mungkin kita belum paham akan suatu hal tetapi buru-buru untuk menilai. alangkah baiknya jika kita tidak membiasakan diri terburu-buru dalam banyak hal. mungkin sebelum kita membuka kata, kita serap dulu apa yang perlu dimengerti. barangkali membaca situasi dengan perlahan justru menjadi kunci dari bijaknya menyikapi. bukannya menjadi bodoh apabila kita mengatakan tidak tahu jika memang benar bahwa kita belum tahu. bukannya menjadi salah kalau kita menahan diri untuk tidak melakukan apa-apa yang semua orang lakukan ketika tahu itu meragukan. saat belajar kita boleh salah agar nantinya tidak salah. yang tidak boleh itu, menyalahkan dan tidak belajar.

Hari ke-9: Merapikan ala KonMari

Image
Saya lagi suka beres-beres di rumah meski rasanya berabad-abad tidak beres juga. Ternyata yang saya lakukan saat merapikan berbagai hal di rumah ini tidak efektif dan justru membuat saya harus beres-beres lagi di lain waktu. Ini cara lama yang diajarkan ibu saya yang cukup sibuk sehingga beliau selalu menyarankan untuk membongkar satu laci dan menyusunnya, baru berganti ke laci yang lain. Dan ternyata di waktu lain, saya perlu membongkar laci yang telah disusun tersebut karena lupa menaruh dimana atau ternyata ada barang-barang yang hanya menjadi timbunan tapi saya eman membuangnya. Saya bertemu dengan bukunya Marie Kondo saat ada topik tentang berberes di rumah di salah satu kulwapp IIP kalau tidak salah. Cepat-cepat saya pesan bukunya melalui toko Gramedia online dan berharap dapat diskonan (tetep). Tetapi saya tidak begitu peduli soal harga karena pas sekali saya sedang membutuhkan buku ini dan lagi ada anggaran belanja buku. Meskipun begitu saya ternyata tidak bisa menghabi

Hari ke-8: E-book bagi yang sibuk

Saya tidak begitu suka e-book awalnya. Apa sih itu? paperless katanya. Tapi kok tetep nggak enak kalau nggak di print ya? Hmm Saya mulai mengambil alternatif membaca buku dengan e-book sejak saya mengenal website cerita rakyat dari berbagai belahan dunia. Judul websitenya, Long Long Time Ago . Menariknya saat itu, saya bisa membaca tentang asal-usul mitos dari seluruh dunia (ya meski nggak mencakup semuanya, tetapi yang biasanya populer saja di negara atau daerah asalnya). Saya mengenal itu sejak saya mengeenal Friendster. Hehe (kids jaman old) Saya pun mengoleksi beberapa cerita, diantaranya yang paling berkesan adalah mitos tentang mengapa langit itu tinggi, mengapa laut itu asin dan tentu saja legenda dari Indonesia :) Haha (emangnya ada? ah saya juga lupa sih, seingat saya itu ada cerita Indonesia, tapi judulnya lupa -_-) Pokoknya saya bahagia sekali saat itu bisa dapat banyak referensi dongeng untuk dibaca dan barangkali saya jadi punya bahan omongan dengan teman-teman di seko

Hari ke-7: Menjaga Semangat Membaca

Saat membaca sebuah cerita yang menyenangkan, pikiran saya selalu terbawa pada imajinasi ketika saya masih kecil, bermain-main dan bersepeda di lapangan balai RW hingga disengat lebah, sampai saat di rumah saya belajar dengan cara dibacakan bukunya oleh ibu dan ayah. Mungkin apa yang saya rasakan sekarang seperti iri pada masa kecil saat saya punya banyak waktu yang menyenangkan karena tidak sibuk dengan hal-hal yang berbau dewasa. Saya yang merasa tidak punya kepentingan saat masa itu pun enteng saja ketika diajak mencuci mobil, memasak, dan sebagainya sebagai sesuatu yang baru, seru dan menantang. Terlebih ketika saya mengenal ensiklopedi, saya jadi semakin penasaran dan keingintahuan saya berkembang jauh lebih besar. Rupanya, hal-hal yang terlihat kecil dan remeh temeh bisa jadi berkesan dan membuat saya menjadi orang yang seperti sekarang. Saya suka membaca. Ternyata sejak di dalam kandung ibu, saya sudah terbawa atmosfer membaca dari ayah dan ibu yang sering berlangganan majal

Hari ke-6: Semua itu Guru

Image
Belajar sama-sama.... Berkarya sama-sama... Kerja sama-sama... Semua orang itu guru Alam raya sekolahku Sejahteralah bangsaku Itu adalah secuplik lirik lagu dari pasangan duet hits di dunia literasi Indonesia, Ribut Cahyono , Karina Adistiana. Menyiratkan bahwa kehidupan ini nyatanya memang sebuah tempat belajar sesungguhnya. Kita diperkenankan melakukan berbagai hal meskipun pernah salah tetapi yang terpenting adalah belajar dari kesalahan. Kita bebas belajar dimana saja, apa saja, dan dari siapa saja. Semua yang kita alami saat ini pun adalah hasil belajar yang telah lalu. Mungkin tidak ada rapornya atau ijazahnya, tetapi yang terpenting adalah pribadi yang lebih percaya diri untuk menghadapi tantangan hidup berikutnya. Meskipun, kita telah terbiasa diberikan pemahaman bahwa yang namanya belajar itu ya mengerjakan PR dari sekolah atau mengerjakan tugas dan mendengarkan ceramah guru di sekolah, kita mestinya bisa memahami kalau di luar itu semua kita tetap harus belajar.