Berteman dan Bertahan = Hidup

Sebagai manusia yang senantiasa bertanya dan mempertanyakan sesuatu, saya terus mencari jawaban. Kenapa kita butuh teman? Bagaimana cara menemani orang lain? Apa syarat menjadi teman? Atau.... tidak butuh syarat sama sekali?

Me, as one of the old souls, always remember one thing. We struggle everyday for life. Then, we need somethings to do that. Like survival kit. Friend is one of them. They are kind of support system of life when the family is faraway. They can be our reflections, our sparring partners, or another home just to make us comfortable and not feeling alone.

Saya mulai memahami bahwa tidak semua orang bisa disebut teman sejak saya mengenal ruang publik dan privasi. Manusia mulai mengklasifikasi  hubungan tak sedarah dengan sebutan kenalan, teman, sahabat, pasangan, musuh, dan sebagainya. Klasifikasi itu bergantung posisi orang lain terhadapnya: apakah di lingkaran terluar, terluar kedua, sampai yang paling dekat dengannya. Semakin ke dalam, semakin intim hubungannya. Sebaliknya, semakin keluar, maka orang lain tersebut dianggap asing bagi dirinya. Teman tentu saja tidak masuk dalam lingkaran terluar, ya, setidaknya ia berada di lingkaran ketiga dimana ketika bertemu bisa saling sapa.

https://s-media-cache-ak0.pinimg.com/736x/90/95/96/909596e4040228ad6f1d1b6ba3fba159--circle-app-autism-apps.jpg
Lingkaran bagi ruang publik dan privasi.

Teman mempunyai akses lebih mudah untuk mewarnai kehidupan kita. Banyak teman saya yang dulunya hedonis jadi lebih sederhana ketika berteman dengan orang yang bersahaja dan tak berpunya. Ada juga yang dulunya polos dan easy going jadi lebih insecure ketika berteman dengan orang yang suka mengeluhkan banyak masalah. Teman bisa meneguhkan jiwa, bisa melunturkan semangat.

Teman biasanya hadir sebagai sosok yang peduli. Ketika kita terlihat susah, teman datang bertanya atau langsung mengulurkan pertolongan. Bantuan dari teman bisa jadi tak serumit dalam cerita. Bisa jadi teman hanya sekadar mengulas senyuman, menanyakan kabar, atau membalas chat iseng saja. Mungkin sekadar menemani (meski tak harus secara fisik) supaya tak merasa sepi sudah cukup dianggap baik untuk modal menjadi teman.

Saya bukanlah tipe orang yang banyak teman, pun bukan teman yang sangat peduli dan baik. Saya sering lupa tanggal penting dan tidak gercep membalas pesan. Namun, saya selalu mengingat momen serta kata-kata yang bermakna dan menyimpan harta karun pertemanan semacam surat, kerang (?), dan foto cetak (ya, pokoknya yang memorable gitu lah, haha). Saya mencari tahu kabar teman saya melalui media sosial dan berusaha menyambung silaturahim meski hanya dengan menyapa di dunia maya.

Dan bagaimana dengan sahabat?
Saya belum menemukan definisinya. Yang jelas saya tidak pernah mendeklarasikan pada dunia bahwa saya punya sahabat bernama ini dan ini. Kurang tahu juga apa gunanya mendeklarasikan seperti itu. Selama ini teman bagi saya adalah orang-orang yang signifikan dalam hidup setelah keluarga. Tak perlu diumumkan kepada khalayak karena teman sesungguhnya tidak memerlukan itu, mereka hanya perlu, lagi-lagi, ditemani. Sebab,  mudah didapatkan dan juga mudah hilang, teman perlu di-maintenance dengan baik. Bisa dalam wujud pertemuan di dunia nyata, maya, dan juga doa ke langit sana.

Lingkaran pertemanan ini hanya melebar, mengikuti gerak langkah kita ke segala penjuru dunia, sehingga aku tidak pernah takut kehilanganmu, teman.


Comments

Popular posts from this blog

Onomatopoeia: Ekspresif dalam Kosakata

Dimulai dari Sampah di Depanmu

Kemandirian Hari ke 3