Toleransi untuk Kawan

Pernah kualami di masa sekolah dasar, teman sebangkuku dirisak (bully) karena ia menggambar sebuah lambang agama tertentu. Ya ampun, kenapa lagi, pikirku saat itu. Selain dipicu gambar itu, ia memang sering diolok-olok karena fisiknya. Ah, sedih sekali mengingatnya. Namun, hal tersebut tidak lagi saya temukan di masa sekolah menengah. Mungkin pikiran anak-anak itu sudah berkembang.

Saat saya bersama teman-teman membuat suatu tempat nongkrong-baca di daerah Rungkut, saya merasakan konflik berdasar SARA juga muncul di kalangan anak sekolah dasar. Ada yang tidak mau bergaul dengan anak beragama lain padahal mereka bisa bermain bersama. Akhirnya pada sebuah momen, dibuatlah acara Kelas Kebangsaan yang mendorong mereka untuk bekerjasama sebagai satu  suku bangsa. Permainan tradisional, bernyanyi lagu anak-anak khas daerah, sampai bermain angklung jadi sarana pemersatu mereka.

Mungkin agak sulit menjangkau jauh batas-batas toleransi sehingga kita bisa menerima perbedaan dengan legawa. Ada rasa jengah saat melihat ada yang tidak sama dengan diri kita. Ada rasa enggan saat mengamati betapa banyak ragamnya hal di luar sana. Tetapi dalam satu ruang perjumpaan, kita bisa saling mengamati tiap-tiap sisi yang mengisi satu dengan yang lain. Di dalam pertemanan, kita temukan persamaan sekaligus perbedaan menjadi sebuah harmoni yang indah.

Comments

Popular posts from this blog

Kemandirian Hari ke 3

catatan keuangan

2: Caraku Memandang Dunia Tak Lagi Sama