1: Just Me

"Pernah kukata, gumpalan awan bisa sangat menyembuhkan, sebuncah resah dan sembilu hatiku."

Duh, ngomong apa sih? Anak itu mesti gitu. Tiba-tiba lho, ngigau nggak juelas. Meski, yah, ada benernya sih. Kalau pas lagi sedih terus melihat langit itu... sedihnya jadi berkurang. Kayak ada saklar yang bikin ganti suasana ketika mendongakkan kepala.

Suatu saat kutanya, hei, liat langit terus, nggak bosen apa? kayak orang ngelamun pingin terbang tau nggak.. Tapi nggak kesampaian. Kasihan.

Dia cuman terkekeh.

"Cuman begini yang bikin aku merasa menjadi diriku sendiri, menyatukan kembali bagian dari diriku yang terserakan karena distraksi.. Langit itu, di ujung sana, rasanya seperti tempat kembali."

 Nggh. Cegek, kedua puluh tiga kali.

Dan.. kata-katanya selalu kuulang seperti rekaman kaset yang diputar pakai pensil, perlahan sambil dikira-kira sejauh mana ingin kuulang perkataannya. Bener lagi. Katanya nenek moyang kita memang berasal dari ujung langit bernama surga. Manusia yang diturunkan karena sedang diuji dan dicoba kepantasannya untuk kembali berada sana.

"Aku, bisa merasakan kombinasi yang hangat di dada sekaligus dingin di kepala ketika lututku bisa menyentuh permukaan tanah sementara tangan menengadah."

Dia melanjutkan, serius sekali.

"Ini aku namakan pencarian jiwa yang merdeka, the free soul."

Ingin kutimpuk buku rasanya, tapi tak bisa. Konyol, bahkan aku sekarang ikut memejamkan mata.

*di belakang mereka, gerombolan awan beriringan riang, pertanda angin berhembus agak kencang*


Surabaya, akhir Oktober saat hampir hujan.

Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

Onomatopoeia: Ekspresif dalam Kosakata

2: Caraku Memandang Dunia Tak Lagi Sama

Dimulai dari Sampah di Depanmu