Konselor Anak dan Remaja atau Konselor Pengasuh Mereka?

Sebelum memasuki ke ruangan, saya sudah punya ekspektasi. Ini acara bikinan Pak Cahyadi dan tim, pasti kece lah. Tapi, sudut pandang orangtua zaman old masih membayangi dan bikin saya agak kurang yakin dengan sajian yang akan saya dapat hari itu.

Tipe belajar yang mesti lewat dituturi dan ceramah umum standar motivator jadi saput yang membuat terasa kurang bergairah. Sangat membosankan. Tapi buru-buru saya tepis. Apa guna jauh-jauh datang, jauh dari keluarga, keluar dari zona nyaman, tetapi tidak dapat apa-apa karena terbentur ekspektasi sendiri?

Pak Cah membuka acara dengan guyonan elegan, tetapi menukik dengan data-data. Terasa nyata, air mata dan sedu sedan beban yang pernah hadir sebagai cerita di teras rumah beliau. Terlampau keterlaluan jika tidak tahu sedikitpun fenomena anak negeri di media massa dan sosial. Begitu lantangnya teriakan jiwa mereka mencari bantuan lewat jalan-jalan sunyi. Tertutupi hingar bingar prestasi akademik atau kebanggaan yang lain.

Kulihat sekeliling, banyak yang menyeka pipi atau sudut mata mereka. Tak diduga, hatiku malah 'sepo' seperti menormalisasi keadaan yang dipaparkan. Memang begitu kenyataannya. Tapi bisakah kita lakukan sesuatu alih-alih merasa semua ini akibat siapa?

Berikutnya, Bu Hasni membuat saya terkagum dengan cara menyampaikan caranya berkomunikasi dengan anak dan remaja, apalagi konteksnya jatuh cinta. Wah, itu seperti membuka kotak pandora ketabuan orang lama. Ini sih sangat tidak sejalan dengan Indonesia Anti Pacaran 🙈 Bukan, bukan saya mendorong pacaran. Tapi memahami tumbuh kembang anak yang beranjak dewasa itu penting, pakai banget. Mereka hanya butuh sarana dan jawaban, harus diapakan perasaan yang tak tertahankan itu?

(bersambung)

______

Hal paling menarik yang saya pelajari di dua hari kemarin justru datang dari dalam rumah yang kami singgahi. Mbak Indah, seorang ibu yang senyumnya hampir tak pernah lepas itu adalah sang pemilik rumah. Hunian yang sederhana sebenarnya, letaknya persis di antara hektaran sawah dan ladang. Dekat dengan tempat olahraga kesukaan Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam, memanah, berkuda dan berenang.

Beberapa hal yang mengherankan muncul sejak kedatangan kami ke sana. Rumah tidak dikunci, padahal waktu sudah menunjukkan pukul 01.30 WIB.
Lebih anehnya lagi, kami dengan heran tapi santai pun masuk, menggelar karpet di ruangan yang terbuka, dan tidur sampai subuh. Tamu macam apa ini.

Pagi itu sang empunya rumah menyambut kami dengan benar-benar hangat tanpa ekspresi-kaget-seperti-memergoki-maling, sehangat secang yang ditawarkan saat sarapan pertama kami di Yogyakarta.

Tak kusangka ternyata beliau juga panitia. Ah, ternyata betul kata Pak Cah.. Banyak orang di acara itu yang suka pura-pura jadi peserta, pura-pura jadi orang biasa. Namanya pun akhirnya tersebut oleh beberapa pembicara di atas panggung. Nggak tanggung-tanggung, ternyata beliau Ketua Giga di DIY. Pantesan...

Esok paginya, saya menghangatkan diri lagi dengan secang dan gorengan yang beliau sajikan. Duh, kok rasanya hidup ini enak banget. Tapi eman kalau saya lewatkan momen begitu saja. Saya yang masih seperti butiran marimas ini mencoba menggali hikmah dari beliau dengan mengobrol santai.

Beliau rupanya berlatar belakang pendidikan Geografi. Tapi fokus beliau saat ini lebih pada keluarga dan literasi. Mungkin itulah yang membuat pemikirannya sangat luas dan berjiwa sosial. Saya bisa menyimpulkan itu dari cerita beliau tentang pagar rumah. Iya, rumahnya itu memang tidak berpagar fisik meskipun ada mobil, sepeda motor dan sepeda kayuh anaknya diparkir di depan rumah. Tetapi ada 'pagar' yang lebih bisa menjaga rumahnya dan keluarganya. Pagar itu berupa tetangga, tukang rombeng, pemulung, dan warga yang ada di sekitarnya. Mereka hafal kapan bisa sowan ke rumah beliau untuk sekadar menjemput barang-barang seken atau botol plastik bekas di depan pintu rumahnya. Sementara tetangga sebelah seperti saudara yang bisa dipercaya untuk mengecek rumah apakah gasnya sudah dimatikan atau belum. Saling percaya dan menjaga.

Saya jadi tak lagi insecure, cemas perkara banyak hal yang menyeramkan di negeri ini. Selalu ada celah harapan yang bercahaya, menuntun kita membuat komunitas manusia yang lebih bermartabat dan kuat. Hal-hal yang menyakitkan di sekitar mungkin hanya gejala yang perlu kita perhatikan dengan peka. Lalu, dengan izin Allah Subhanahu Wa Ta'ala, bisa dipulihkan seperti semula. Seimbang seperti sediakala. Bismillah, optimis, 300-an hati peduli yang berkumpul kemarin di Grand Dafam Rohan Hotel Yogyakarta menjadi bukti celah harapan itu ada dan menganga di depan mata.


Sesampai di Surabaya, 19 Agustus 2019

Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

Onomatopoeia: Ekspresif dalam Kosakata

2: Caraku Memandang Dunia Tak Lagi Sama

Dimulai dari Sampah di Depanmu