Bukan Butuh Piknik, tapi Teman Seperjalanan

Sebagai orang yang sejak lahir tinggal di ibukota (Jawa Timur), hiruk pikuk perkotaan sudah jadi rutinitas saya. Mau tidak mau, saya harus terbiasa dikelilingi dengan berbagai hal yang menuntut kerja keras. Pikiran jadi cepat letih, badan jadi mudah lesu, hati pun lunglai. Namun, manusia diciptakan oleh Allah dengan akal yang demikian kreatif dan alam yang mendukung supaya segala sesuatunya seimbang dan kembali seperti semula. Keletihan yang kita rasakan tentu ada obatnya. Jika sakit badan, asupan makanan nan bergizi akan memulihkan stamina kita. Jika sakit hati, dzikir bisa jadi penenang jiwa. Jikalau pikiran? Tentu ada banyak jalan untuk menguraikan keruwetan di dalamnya.

Beberapa orang dengan jempolnya memviralkan sebuah kutipan, "Kalau kamu stres mungkin kamu butuh piknik." Wah, saya sempat berpikir hal yang sama. Mungkin segala kerumitan yang membuat saya lelah bisa jadi karena kekurangan waktu bersantai atau jalan-jalan. Hanya saja, pikiran saya semakin njlimet memikirkan kapan ada waktu dan berapa biaya yang harus saya keluarkan untuk menjalankan misi mulia tersebut. Hmmm, tiba-tiba ada anugerah yang datang berupa ajakan teman satu komunitas untuk belanja ilmu di Yogyakarta. Meskipun saya masih belum ada gambaran besar mengenai budget dan itinerary, saya langsung mengiyakan saja. Kapan lagi kesempatan buat piknik, pikir saya.

Persiapan saya lakukan sebulan sebelum acara. Saya yang terbiasa serba teratur, tidak mau acara nanti batal karena saya sudah ingin sekali pergi ke Yogyakarta. Saya segera caritahu soal tiket dan promo, alhamdulillah dapat. Soal tiket aman. Penginapan juga beres karena ada yang bersedia rumahnya diinapi. Transportasi sudah ada Uber dan Grab, jadi nggak ada masalah.

Namun, sebulan kemudian drama pun dimulai. Banyak di antara rombongan yang punya agenda bertabrakan jadwal dengan keberangkatan kereta. Salah satu teman di komunitas mengundurkan diri dari acara karena terkendala kerjaan. Begitu pula seorang teman yang lain mengundurkan jadwal keberangkatan karena sedang menjadi juri lomba. Selain itu, kami tidak jadi berencana menginap di rumah salah satu teman karena ternyata yang punya rumah sibuk dan rumahnya pun jauh dari tempat acara sehingga kami memilih menginap di hotel (dimana hanya dua kamar untuk 5 orang dan dalam satu malam saja, malam berikutnya kami belum tahu mau menginap dimana :)))

Ketika sedang membatalkan tiket, teman saya yang undur diri tersebut dalam kondisi panik karena waktu sudah menunjukkan 1 jam sebelum keberangkatan. Dia membatalkan 4 tiket sekaligus yang merupakan milik beberapa teman yang tetap berangkat. Untungnya, tak lama kemudian ia sadar dan memesan lagi tiket pulang-pergi untuk rombongan.

Setelah saya puas dan ngos-ngosan berlari-lari menjemput teman satu rombongan yang berpencar (ya, ini drama pertama dimana kami tidak menentukan titik pertemuan sebelum berangkat). Walhasil, tidak sampai 5 menit sebelum kereta melaju kita akhirnya bisa duduk manis di dalam gerbong kereta. Dengan hati yang riang gembira dan stok makanan yang banyak (ini kenapa kami yang single ini senang pergi bersama ibu-ibu), kami memulai perjalanan.

Sambil menyiapkan tiket untuk diperiksa kondektur, saya membaca tulisan di sana. Lho, kok jadwal kepulangan jadi jam 7 pagi? Sementara seingat saya, pagi hari itu masih ada acara sehingga dulu kami memesan tiket kereta malam. Doenggg......

Meski sempat panik sebentar, kami melanjutkan perjalanan dengan banyak bercerita sambil berlatih bahasa Inggris. Sampai di Lempuyangan, kami langsung mencari CS untuk melakukan pembatalan tiket sambil menyusun plan B: mencari tiket KA malam yang tersisa atau memilih naik travel saja untuk pulangnya. Di hotel yang pas banget di seberang balai kota (tempat acara kami), kami bersih diri sambil menunggu teman kami yang menyusul.

Besoknya, drama berlanjut, kami yang tidak dapat jatah sarapan hotel (iya memang agak ngenes sih, tapi berhubung ada ibu-ibu, kami tetap bisa minum kopi dan makan roti, hehe) langsung menuju balai kota dan mengikuti serangkaian acara Pesta Pendidikan. Beruntung, teman saya mendapat jatah snack roti untuk mengganjal perut sambil mengikuti kelas Antikorupsi. Sedangkan yang lain mengikuti kelas guru kreatif dan saya sendiri bersama Ibu Ketua Geng menunggu jadwal kelas berikutnya. Ini cara kami untuk belanja ilmu sebanyak-banyaknya untuk kemudian dibagi :D

Saya belajar banyak tentang kehidupan dari karakter tiap teman seperjalanan saya, selain ilmu di kelas-kelas Pesta Pendidikan tentunya. Ada Ibu Ketua yang superhoki dan koleris tapi friendly, bisa-bisa aja dapat hotel seberang pas sama gedung acara padahal H-1 dan dapat tiket kereta juga akibat ada gerbong tambahan Sancaka. Lalu teman senasib saya (paham lah ya), Pengajar Muda yang cukup cuek dan ceroboh tapi semangat luar biasa mencari dan berbagi ilmunya. Saya sempat mendapat cerita yang bikin jadi semangat lagi buat berjuang :) Ada pula ibu paruh baya yang penuh perhatian dan membuat saya cukup kaget karena tidak menyangka beliau bisa secerewet itu, Hahaha. Peace ya, Ibu.. I'll miss your angry.. Selain itu, ada seorang ibu yang pinter ngerayu dan pede-nya patut dicontoh, sampai waktu pulang membawa buanyak hasil memborong ilmu dan peraganya dari sana.

Ketika pulang, saya memahami dan meresapi setiap adegan perjalanan kami yang.... cepat sekali berlalu. Ternyata selama ini saya agaknya salah mengerti arti kutipan yang kusebut di awal. Hal yang paling berkesan dan menyembuhkan pikiran dan hati nyatanya adalah teman seperjalanan. Terkadang pintu yang kita sangat harapkan terbuka bukanlah untuk kita. Sementara kita sibuk berharap, menggerutu pada satu pintu, ada pintu lain yang terbuka lebar seraya menyambut kedatangan kita untuk belajar lebih terbuka dan menerima pelajaran hidup yang berharga.

Comments

Popular posts from this blog

Onomatopoeia: Ekspresif dalam Kosakata

2: Caraku Memandang Dunia Tak Lagi Sama

Dimulai dari Sampah di Depanmu