Resensi Buku: Tetap Saja Kusebut (Dia) Cinta

"Mau kubilang lantang...
 .... atau kupendam dalam diam
Tetap saja kusebut (dia) cinta."


Mengenal penulis yang unik adalah sebuah efek samping yang asyik bagi saya. Selain menikmati tiap diksi dan menuruti alur yang dibuat Tasaro GK, saya memahami sisi lain dari beliau. Penulis yang mempunyai value dalam menulis akan dirasakan oleh pembacanya. Hal itu pula yang membuat para pembacanya menjadi lebih setia dan segmented. Tidak berada di deretan buku pop Indonesia bukanlah suatu penghalang Tasaro untuk menyampaikan nilai humanis dan spiritual dalam cerpen maupun novelnya.

Kali ini saya mencoba sedikit membedah bagian buku yang termasuk kumpulan cerpen: Tetap Saja Kusebut (Dia) Cinta. Judulnya terdengar menye kan? Hahaha

Saya bukanlah penggemar cerita romantis. Justru semi-hater (lol). Saya lebih memilih buku petualangan atau non-fiksi sekalian daripada buku yang terlalu nge-pop semacam kisah percintaan (apalagi yang remaja). Hal yang membuat saya tertarik untuk membaca buku ini justru karena penasaran. Berawal dari riset tentang buku-buku sastra yang bagus, saya mencoba untuk menjajal buku baru yang penulisnya agak terkenal dengan diksi yang cerdas dan memper-memper sama Dewi Lestari.

Jujur saya agak sedih saat itu bahwa saya jarang sekali mendengar penulis sastra yang bahasanya cerdas tapi tidak vulgar dan menyakiti SARA. Mungkin karena Indonesia mengalami trauma sastra yang luar biasa sampai penulis Indonesia tidak begitu beraura positif tulisannya. -skip-

Kembali ke buku ini, saya suka dengan kesan pertama bukunya yang bersampul gambar lukisan. Lukisan seorang perempuan (kelihatannya sih begitu ya) dengan rambut panjang dan topinya berdiri di tengah padang ilalang di bawah langit biru. Ternyata sang penulis menggaet seorang pelukis untuk berkolaborasi dalam buku ini. Jadi, ketika di sela-sela menyelami kisah, saya sempat menikmati lukisan-lukisan dari sang pelukis. Good job.

Masuk ke dalam buku, saya mendapati keunikan yang lain, halaman persembahan hanya untuk satu orang dan dia adalah.... Dewi "Dee" Lestari. Saya shock luar biasa :P
Ada 9 kisah dalam buku ini yang menurut saya temanya tidak melulu tentang cinta. Judul yang diangkat untuk tampil pada halamn cover buku ini pun diambil dari salah satu kisahnya. Kisah cinta yang rumit dan agak susah dipahami bagi saya yang tidak suka cerita cinta. Namun, saya tetap bisa membaca dengan nyaman dan meresapi tiap deskripsi yang terbayangkan.

Kisah yang paling berkesan menurut saya ada dua yang justru bukan judul utama buku ini. Tetapi judul Tuhan Tak Pernah Iseng yang menceritakan pertemanan dengan orang homoseksual dan Bukan Malaikat Rehat. Cerita tentang homoseksual masih agak tabu di masyarakat sehingga saya berpikir penulis ingin menyampaikan pandangannya terkait hal ini. Bukan Malaikat Rehat adalah kisah yang berlatar anak yang ikut mengaji dengan seorang murobbi dan mengalami krisis kepercayaan pada lingkungan mengajinya tersebut.

Kisah yang dekat dengan keseharian menjadikan buku ini cukup ringan untuk dibaca dalam sehari-dua hari. Hanya saja tema cerita-ceritanya yang terlalu ngglambyar justru membahayakan popularitasnya. Untung saja penulis tidak terlalu habis pikir tentang itu karena ia punya penggemar yang senantiasa penasaran dengan buku barunya. Ia juga mengarang buku lain yang cukup populer berjudul Muhammad (tetralogi) dan Kinanthi yang termasuk kategori novel fiksi.

Penilaian saya untuk buku ini: 3.5/5 alias bagus saja. Semacam memakan cemilan di saat senggang dan tidak ingin melahap buku sastra berat-berat.

Semoga bermanfaat ya :)

Comments

Popular posts from this blog

Onomatopoeia: Ekspresif dalam Kosakata

2: Caraku Memandang Dunia Tak Lagi Sama

Dimulai dari Sampah di Depanmu